18 Mei 2016
KOMPAS.com — Indonesia boleh berbangga karena memiliki Prof Effendy, ahli kristalografi yang diakui dunia. Di tengah minimnya sarana dan prasarana penelitian, ia mampu menemukan dan menganalisis 730 senyawa koordinasi baru dari garam-garam tembaga, perak, dan logam-logam alkali dengan ligan-ligan dari unsur golongan 15. Suatu angka pencapaian yang menurut para ahli kimia amat luar biasa.
Pekan lalu, Effendy mendapatkan Habibie Award atas 22 tahun penelitiannya dalam sintesis dan penentuan struktur senyawa koordinasi, dengan menggunakan metode difraksi sinar X. Penelitian Effendy memang penelitian dasar yang manfaatnya baru dirasakan 10–20 tahun mendatang.
Penerima Habibie Award 2012 lainnya adalah Prof Dr Teguh Santoso Sukamto, kardiolog FKUI/RSCM. Baik Effendy maupun Teguh memperoleh hadiah uang 25.000 dollar AS.
Penelitian Effendy tentang struktur senyawa kimia itulah yang nantinya menjadi dasar peneliti lain untuk menciptakan berbagai inovasi untuk kepentingan medis, pangan, dan bioteknologi.
”Sekarang ini berbagai disiplin ilmu harus saling bekerja sama. Ahli biologi molekuler harus bekerja sama dengan ahli kristalografi. Molekul kecil seperti Cisplatin berbahan dasar atom platinum, hidrogen, nitrogen, dan klor, yang ditemukan 75 tahun lalu. Belum lama ini, secara tidak sengaja diketahui itu dapat digunakan sebagai obat antikanker,” Effendy menuturkan.
Terancam ”drop out”
Effendy bercerita, dia tidak pernah bermimpi untuk menjadi ahli kimia. Sewaktu masih duduk di bangku SMA, ia bercita-cita menjadi dokter. Namun ayahnya, Nawawi, yang sempat menjadi pengepras atau pemborong tanaman tebu, secara mendadak bangkrut. Ketika itu sang ayah bangkrut karena ditipu oleh oknum-oknum di Pabrik Gula Krebet Baru, Malang.
Kondisi itu membuat Effendy terpaksa masuk ke Jurusan Pendidikan Kimia Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang. Dia membiayai kuliah dengan membuka kios penyewaan buku dan komik. Usaha inilah yang kemudian juga membantu membiayai kuliah empat adiknya.
Lulus S‑1 dari IKIP Malang pada 1981, dua tahun kemudian Effendy melanjutkan ke jenjang S‑2 Pendidikan Kimia di IKIP Jakarta. Dia berhasil lulus S‑2 tahun 1985. Pada 1987, Effendy memperoleh beasiswa untuk belajar ke Australia bersama 20 pengajar IKIP yang sudah menyandang S‑2 dari seluruh Indonesia. Mereka diharapkan menjadi pakar dalam bidang kimia, fisika, dan matematika.
”Di Australia, kami semua diturunkan setara dengan tahun ketiga S‑1. Luar biasa berat buat saya karena selama satu tahun harus mendalami teori-teori kimia untuk mencapai gelar BSc dan setahun lagi untuk BSc Honour. Namun, saya merasa beruntung karena bisa menemukan satu senyawa pada saat terakhir masa tesis. Kalau tidak, saya bisa kena drop out,” cerita Effendy beberapa waktu lalu.
Dari satu senyawa itulah, Effendy melangkah lebih jauh. Ia terus melakukan penelitian dan menemukan senyawa-senyawa koordinasi lain yang kemudian dia pelajari strukturnya. Jika mahasiswa lain berlibur pada musim panas, Effendy justru memilih berkutat di laboratorium. ”Setelah dua bulan, saya berhasil menyintesis 32 senyawa baru,” katanya.
Atas prestasinya itu, Effendy ditawari masuk program doktor tanpa harus menyelesaikan program master. Dua bulan setelah pengumuman kelulusan sebagai doktor pada akhir tahun 1993, Effendy diminta oleh seorang ahli kimia, Prof Allan Henry White, untuk melanjutkan penelitian yang dia lakukan selama menjalani program doktor.
”Saya menerima tawaran itu karena di Indonesia belum ada alat single crystal diffractometer X‑ray yang merupakan alat utama dalam penelitian saya. Kalau saya paksakan pulang ke Tanah Air, penelitian saya akan berhenti di tengah jalan,” kata Effendy.
Mondar-mandir
Sejak 1994 hingga kini, Effendy mondar-mandir antara Malang dan Australia. Akibatnya, dia tergolong terlambat untuk menikah. Pada 1998, saat berusia 42 tahun, dia menikahi Aniswati, salah seorang mahasiswinya di IKIP Malang yang lebih muda 18 tahun dari dirinya. ”Saya memimpikannya ketika naik haji,” tuturnya.
Effendy bercerita, dia memiliki lahan sawah 1 hektar untuk ditanami padi. Oleh karena itulah, sang istri belakangan ini juga menjadi penyuluh pertanian dan mengelola sebuah toko swalayan di Bulu, Lawang.
”Ini untuk membagi rezeki kepada lima karyawan toko kami. Kami berusaha agar hidup ini bisa memberi manfaat kepada orang lain,” ujarnya.
Effendy yang awalnya adalah pendidik kimia murni sekarang menjadi salah seorang dari sedikit ahli kristalografi yang dimiliki Indonesia. Hasil penelitian yang dia tulis lalu diterbitkan di berbagai jurnal ilmiah dunia.
Dia menjadi satu-satunya ilmuwan Indonesia yang namanya masuk daftar Cambridge Structural Database (CSD) di Cambridge Crystallographic Data Centre, sebuah database berisi nama para peneliti yang berhasil memublikasikan minimal 501 struktur senyawa baru dalam jurnal internasional. Karena itu, amat pantas jika Effendy mendapatkan Habibie Award di bidang ilmu dasar.
Selain menjadi peneliti ilmu kimia, Effendy juga membantu mengembangkan kurikulum pendidikan ilmu kimia untuk para pelajar SMP dan SMA rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah internasional. Dia juga membantu pengembangan program pendidikan tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Di tengah semua kesibukannya itu, Effendy masih sempat menulis setidaknya sembilan buku teks. Salah satu bukunya itu ditulis dalam bahasa Inggris.
Impian Effendy yang belum terwujud adalah menjadikan Universitas Negeri Malang sebagai pusat kristalografi nasional. Dia berharap ada donatur yang mau membantu pengadaan alat single crystal diffractometer X‑ray yang harganya sekitar Rp 5 miliar.
”Hal yang juga penting adalah menyiapkan teknisi untuk mengoperasikan dan kaderisasi untuk mereka yang ingin mendalami kristalografi. Kaderisasi itu yang lebih sulit karena minat mahasiswa kecil sekali untuk mendalami ilmu dasar,” kata Effendy.
Sumber : http://sains.kompas.com/